Kebijakan-Kebijakan Pemerintah untuk Mengatasi Permasalahan Perekonomian Indonesia

1) Kebijakan Benteng
   Situasi perekonomian Indonesia sebelum tahun 1950 sampai dengan bulan Juni 1950, tingkat inflasi melambung dengan cepat, nilai uang merosot tajam, demikian pula dengan kondisi neraca pembayaran Indonesia. Keadaan ini diperparah dengan bertambah tingginya angka pengangguran, baik di perkotaan maupun di pedesaaan.
    Kebijaksanaan Benteng sebagai pendirian kelompok perusahaan pribumi tidak lain dan tidak bukan merupakan usaha menghadapi kepentingan Belanda di Indonesia. Upaya ini diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta pribumi yang tangguh dan menempatkan satu sector ekonomi yang penting, yaitu perdagangan impor. Untuk mencapai tujuan ini, berbagai lisensi impor disalurkan kepada pengusaha nasional, khususnya pengusaha pribumi. Diharapkan dengan modal yang dapat dipupuk pengusaha pribumi mampu melakukan diversifikasi ke bidang-bidang lain, seperti
perkebunan besar, perdagangan dalam negeri, asuransi dan indutri subtitusi-impor.
     Pada dasarnya kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini memiliki tujuan yang baik, namun banyaknya masalah yang dihadapi negara dan SDM pengusaha yang kurang mengakibatkan kebijakan ini tidak berhasil.
     Pada 1945, Indonesia telah mencapai kemerdekan setelah lama berjuang. Indonesia mulai membenahi diri di berbagai bidang guna menjadi bangsa yang mandiri dan sejahtera. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Indonesia khususnya di bidang ekonomi. Untuk membenahi ekonomi tersebut, telah diberlakukan berbagai kebijakan, hal ini mulai dilakukan sejak tahun 1945. Sebagai contoh, pemerintah menasionalisasikan De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, gerakan Plan Kasimo, Gerakan Gunting Syafruddin dan masih banyak lagi. Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk membenahi kondisi ekonomi.
     Kebijaksanaan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng adalah suatu kebikjakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat tahun 1950-an atau pada saat era kabinat Natsir, dimana kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini bertujuan membantu para pengusaha-pengusaha muda untuk mengembangkan usahanya. Bantuan dalam kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Bernteng ini berupa pemberian modal pada para pengusaha pribumi.
     Sistem Ekonomi Gerakan Benteng sebagai pendirian kelompok perusahaan pribumi tidak lain dan tidak bukan merupakan usaha menghadapi kepentingan Belanda di Indonesia. Upaya ini diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta pribumi yang tangguh dengan menempatkan satu sektor ekonomi yang penting, yaitu perdagangan impor. Untuk mencapai tujuan ini, berbagai lisenisi impor disalurkan kepada pengusaha nasional, khususnya pengusaha pribumi. Diharapkan dengan modal yang dapat dipupuk, pengusaha pribumi mampu melakukan diversifikasi ke bidang-bidang lain, seperti perkebunan besar, perdagangan dalam negeri, asuransi dan indutri subtitusi-impor.
     Pertama, pada kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng bertujuan agar pemerintah memberikan modal kepada para pengusaha pribumi serta melindunginya agar pengusaha pribumi ini bisa menjadi berkembang dan maju. Nasionalisasi ekonomi dalam program benteng yang dicanangkan dan diumumkan pada bulan April tahun 1950 diperlihatkan oleh intensitas intervensi negara atas lembaga ekonomi dan perundang-undangan yang diterapkan pada tahun 1950-an.
     Kedua, implementasi pokok dari program benteng yang kelihatan adalah mendorong para importir nasional agar dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing termasuk Cina. Karena masalah keterbatasan anggaran dana dan juga keterbatasan wawasan pengusaha pribumi yang melekat pada Program Benteng tersebut, pemerintah melakukan penyaringan ketat guna mengeliminasi importer semu atau tidak mampu, misalnya dengan melakukan modal aktif atau pasif. Pemerintah mengadakan seleksi terhadap pengusaha atau pedagang baru dibidang ekspor dan impor, dengan tujuan menyehatkan perdagangan Indonesia. Pada masa itu, sulit bagi pengusaha atau pedagang baru yang belum manjadi anggota Benteng Group untuk mencatat diri sebagai anggotanya. Pemerintah berniat agar pengusaha-pengusaha baru dapat tersebar di seluruh Indonesia. Politik ini bukan saja mengenai importer, bahkan perusahaan dan dunia perdagangan harus tersebar di seluruh Indonesia.
Kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng antara tahun 1950-1953 merupakan indonesianisasi yang dipaksakan oleh pemerintah dan mengakibatkan gagalnya tumbuhnya investasi kapital asing (Belanda) . Indonesianisasi bersamaan dengan industrialisasi pada zaman tahun-tahun awal pemerintahan Sukarno mendapatkan momentum kembali meski dalam ruang yang masih terbatas. Indonesianisasi yang penting adalah pengakuan atas identitas etnik yang menyatu dalam perdagangan dan manufaktur dalam usaha-usaha baru yang dibentuk.
     Kajian historis terhadap proses perubahan sosial-ekonomi pribumi dalam lintasan tiga zaman ini mendapatkan fakta-fakta menarik yang saling terkait antara peristiwa-peristiwa sejarah natural seperti terjadinya malaise, perang revolusi dan dekolonisasi. Tampak bahwa secara makro, perubahan ekolnomi pribumi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor determinan yang mendorong rakyat mengembangkan kreatifitas untuk pemenuhan kebutuhan hidup pada masa-masa sulit.
Perekonomian Indonesia Pasca Kemerdekaan
     Dalam tahun-tahun berikutnya memang ternyata bahwa pada tahap awal kemerdekaan, banyak energi dan sumber daya nasional yang sebenarnya bisa disalurkan untuk pembangunan ekonomi, justru dimobilisasi untuk menanggulangi masalah Irian Barat. Hal ini dikarenakan Presiden Soekarno tak henti-hentinya menekankan bahwa perjuangan untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda dan hal tersebut merupakan kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah Indonesia. Meskipun pemimipin-pemimpin nasional lainnya setuju bahwa masalah Irian Barat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia, beberapa di antara mereka berpendapat bahwa sebaiknya konflik dengan Belanda tentang Masalah Irian Barat di bahas secara tidak mencolok melalui saluran diplomatik biasa, karena Indonesia pada waktu itu sedang menghadapi berbagai masalah lainnya, termasuk masalah ekonomi yang perlu segera di tanggulangi. Ironis memang peraturan yang baru dikeluarkan yang pada dasarnya untuk menekan para pengusaha-pengusaha asing agar tidak memonopoli produk import namun justru juga merugikan bagi para pengusaha import pribumi sendiri. Dari sinilah maka muncul pemikiran dari seorang tokoh ekonomi yang sekian lam berkelana ke luar negeri dan dipanggil kembali ke Indonesia guna menyeleseikan masalah dan persoalan bangsa terutama di bidang perekonomian.
     Perhatian terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh Dr. Soemitro Djoyohadikusumo, yang berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru. Yang perlu dilakukan adalah mengubah struktur ekonomi pada umumnya dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional. Dr. Soemitro Djoyohadikusumo mencoba mempraktekkan pemikirannya itu pada sektor perdagangan. Beliau berpendapat bahwa pada bangsa Indonesia harus selekas mungkin ditumbuhkan kelas pengusaha. Dan semenjak itu Dr. Soemitro Djoyohadikusumo diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian dalam Kabinet Natsir.
Para pengusaha bangsa Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah , diberi kesempatan untuk berpartisipasi membangun perekonomian bangsa Indonesia. Pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha tersebut, baik dalam bentuk bimbingan konkret atau dengan bantuan kredit, karena pemerintah menyadari bahwa pengusaha-pengusaha Indonesia pada umumnya tidak mempunyai modal yang cukup untuk menjalankan usahanya agar lebih maju dan berkembang serta dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing yang ada di Indonesia. Apabila usaha ini berhasil, secara bertahap pengusaha bangsa Indonesia akan dapat berkembang maju, maka tujuan mengubah struktur ekonomi kolonoal dibidang perdagangan akan tercapai.
     Gagasan Dr. Soemitro Djoyohadikusumo kemudian dituangkan dalam program Kabinet Natsir (September 1950-April 1951); ketika itu ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan program ini dikenal Sistem Ekonomi Gerakan Benteng. Yaitu, Dalam kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini diharapkan para pengusaha-pengusaha pribumi mendapatkan modal yang lebih agar bisa memperluas usahanya dan bisa bersaing dengan para penguasah-pengusaha asing.
Implementasi nasionalisasi ekonomi dalam Sistem Ekonomi Gerakan Benteng yang dicanangkan dan diumumkan pada bulan April tahun 1950 diperlihatkan oleh intensitas intervensi negara atas lembaga ekonomi dan perundanga-undangan yang diterapkan pada tahun 1950-an. Implementasi pokok dari Sistem Ekonomi Gerakan Benteng yang kelihatan adalah mendorong para importir nasional agar dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing termasuk Cina.
     Akibat dari kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng maka pemeriksaan barang eksport akan diperketat, untuk menghapus klaim atas kwalitet dan bungkusan barang-barang eksport. Karena banyaknya para pengusaha-pengusaha pribumi yang menginginkan ikut serta dalam kebijakan Sistem Ekonomi gerakan Benteng tersebut, pemerintah melakukan penyaringan ketat guna mengeliminasi importer semu atau tidak mampu, misalnya dengan melakukan modal aktif atau pasif.
      Pemerintah mengadakan seleksi terhadap pengusaha atau pedagang baru dibidang ekspor dan impor, dengan tujuan menyehatkan perdagangan Indonesia. Ditinjau dari segi pengendalian nasional atas perdagangan impor, kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng berhasil karena pada pertengahann tahun 1950-an lebih dari 70 persen dari perdagangan impor sudah dilakukan oleh pengusaha-pengusaha Indonesia. Namun dalam waktu singkat sudah keliatan bahwa kebijakan Sistem Ekonomi gerakan Benteng mengandung berbagai kelemahan, terutama dengan banyaknya ”importir aktentas”, yaitu orang-orang yang tidak memanfaatkan peluang dengan baik untuk memperoleh ketrampilan dan pengalaman dalam perdagangan impor, tetapi justru menjual lisensi impor yang mereka peroleh kepada importir lain, kebanyakan importir etnis Cina.
     Hal ini termasuk kegagalan untuk mengembangkan wiraswasta nasional yang tangguh, akhirnya mendorong pemerintah Indonesia segara menghapus kebijakan Sistem Ekonomi gerakan Benteng sekitar tahun 1953-an. Karena kebijakan Sistem Ekonomi gerakan Benteng dianggap sebagai upaya pokok untuk pengembangan wiraswasta nasional, maka kegagalan kebijakan ini menciptakan iklim yang condong untuk menasionalisasikan usaha-usaha Belanda yang dianggap menghambat pengembangan wiraswsata nasional.


2) Kebijakan Gunting Syafruddin
a. Sanering
Pada tanggal 19 Maret 1950, sanering pertama kali dikenal dengan nama "gunting syafrudin" dimana uang kertas betul-betul digunting menjadi dua secara fisik dan nilainya. Dia memerintahkan agar seluruh ‘uang merah’ NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) dan uang De Javasche Bank/DJB (bentukan penjajah belanda yang kemudian berubah nama menjadi BI/Bank Indonesia) yang bernilai rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian.
·           Gunting Sjafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950.
·          Gunting Syafrudin adalah plesetan yang diberikan rakyat atas kebijakan ekonomi (khususnya moneter) yang ditetapkan mulai berlaku Jumat, 10 Maret 1950.
Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi alias dibuang.
Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. "Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi negara yang saat itu sedang terpuruk yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi dan harga melambung. Dengan politik pengebirian uang tersebut, bermaksud menjadi solusi jalan pintas untuk menekan inflasi, menurunkan harga barang dan mengisi kas pemerintah untuk membayar utang yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 milyar.
Pada tanggal 25 Agustus 1959 terjadi sanering kedua yaitu uang pecahan Rp 1000 (dijuluki Gajah) menjadi Rp 100, dan Rp 500 (dijuluki Macan) menjadi Rp 50. Deposito lebih dari Rp 25.000 dibekukan. 1 US $ = Rp 45. Setelah itu terus menerus terjadi penurunan nilai rupiah sehingga akhirnya pada Bulan Desember 1965, 1 US $ = Rp 35.000.
Seperti juga ‘gunting Syafrudin’, politik pengebirian uang yang dilakukan soekarno membuat masyarakat menjadi panik. Apalagi diumumkan secara diam-diam, sementara televisi belum muncul dan hanya diumumkan melalui RRI (Radio Republik Indonesia). Karena dilakukan hari Sabtu, koran-koran baru memuatnya Senin. Dikabarkan banyak orang menjadi gila karena uang mereka nilainya hilang 50 persen. Yang paling menyedihkan mereka yang baru saja melakukan jual beli tiba-tiba mendapati nilai uangnya hilang separuh.
Pada tanggal 13 Desember 1965 dilakukan Sanering yang ketiga yaitu terjadi penurunan drastis dari nilai Rp 1.000 (uang lama) menjadi Rp 1 (uang baru). Sukarno melakukan sanering akibat laju inflasi tidak terkendali (650 persen). Harga-harga kebutuhan pokok naik setiap hari sementara pendapatan per kapita hanya 80 dolar US.
Sebelum sanering, pada bulan november 1965 harga bensin naik dari rp 4/liter menjadi rp 250/ liter (naik 62,5 kali). Nilai rupiah anjlok tinggal 1/75 (seper tujuh puluh lima) dari angka rp 160/ us$ menjadi Rp 120,000 /us$.
Setelah sanering ternyata bukan terjadi penurunan harga malah harga jadi pada naik. Pada tanggal 21 Januari 1966 harga bensin naik dari rp 250/liter menjadi rp 500/ liter & harga minyak tanah naik dari rp 100/ltr menjadi rp 200/ltr (naik 2 kali).
Sesudah itu tanpa henti terjadi depresiasi nilai rupiah sehingga ketika terjadi krisis moneter di Asia pada tahun 1997 nilai 1 us $ menjadi rp 5.500 dan puncaknya adalah mulai April 1998 sampai menjelang pernyataan lengsernya suharto maka nilai 1 us $ menjadi rp 17.200. Lalu apakah kebijakan politik pengebirian nilai fiat money (uang kertas) ini bakal terulang lagi? Sebenarnya pengebirian nilai fiat money ini terjadi secara halus dan perlahan tapi pasti, buktinya bisa dilihat dari kenaikkan harga barang dari tahun ke tahun, yang sesungguhnya adalah pengurangan nilai fiat money. Padahal harga barang itu tetap, tapi karena nilai fiat money yang kita pegang angkanya makin banyak tapi daya belinya makin turun.
Sanering Rupiah adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun. Dampak  dari sanering, menimbulkan banyak kerugian karena daya beli turun drastis. Tujuan dari sanering, mengurangi jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga-harga. Katanya program sanering itu dilakukan karena ekonomi negara itu sangat buruk yang mendekati ambruk karena hiper inflasi.
Nilai uang terhadap barang dari sanering, nilai uang terhadap barang berubah menjadi lebih kecil, karena yang dipotong adalah nilainya. Kondisi saat dilakukan, dalam kondisi makro ekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi (hiperinflasi). Masa transisi, Sanering tidak ada masa transisi dan dilakukan secara tiba-tiba. Contoh:  Pada sanering, bila terjadi sanering per seribu rupiah, maka dengan Rp 4,5 hanya dapat membeli 1/1000 atau 0,001 liter bensin.

   b. Redonominasi
Topik yang sedang menarik perhatian publik saat ini adalah redenominasi rupiah. Rencana Bank Indonesia untuk melakukan redenominasi rupiah banyak mengundang kritik dari berbagai pihak dari ahli ekonomi, pengamat bursa saham, pelaku bisnis dan lain-lainnya. Bank Indonesia mengatakan, redenominasi rupiah tidak sama dengan sanering atau pemotongan nilai mata uang. Sebab, dalam redenominasi meski tiga angka nol terakhir dihilangkan, tapi nilainya sama.
Redenominasi Rupiah adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Dampak dari Redenominasi, Pada redenominasi, tidak ada kerugian karena daya beli tetap sama. Menurut BI uang dengan nominal besar kurang efisien serta merepotkan pembayaran. Oleh karena kebijakan tersebut akan bermanfaat besar bagi perekonomian yang akan membuat pencatatan dan pembukuan akan lebih efisien.
Latar Belakang Kebijakan Redenominasi, Bank Indonesia sedang mengkaji kebijakan redenominasi atas mata uang rupiah. Kebijakan ini diambil setelah hasil riset World Bank yang menyebutkan, Indonesia termasuk negara pemilik pecahan mata uang terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Uang pecahan terbesar di tanah air Rp 100.000, hanya kalah oleh dong Vietnam (VND) 500.000.
Tujuan dari Redenominasi, menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakuan transaksi.Tujuan berikutnya, mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan negara regional. Nilai uang terhadap barang dari Redenominasi, tidak berubah, karena hanya cara penyebutan dan penulisan pecahan uang saja yang disesuaikan.
Kondisi saat dilakukannya Redenominasi, Redenominasi dilakukans saat kondisi makro ekonomi stabil. Ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali.
Masa transisi, Redenominasi dipersiapkan secara matang dan terukur sampai masyarakat siap, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.


3) Nasionalisasi De Javasche Bank
Pada tahun 1800, pasca pembubaran VOC, pemerintah Hindia Belanda mengalami berbagai macam kesulitan ekonomi. Berbagai macam kebijakan keuangan harus dilakukan sendiri tanpa pengaturan dari bank sirkulasi. Pemerintah juga sangat kewalahan menghadapi kebijakan moneter dan fiskal tanpa adanya lembaga keuangan lainnya serta dalam neraca perdagangan juga Pemerintah Hindia Belanda sangat membutuhkan emas dan perak untuk menutupinya. Kondisi inilah yang menyebabkan pendirian bank sirkulasi untuk Pemerintah Hindia Belanda.
Pada 16 Juli 1823, negeri Belanda mengirimkan rancangan oktroi untuk suatu bank yang akan disebut sebagai Der Nederlandsceh Oost-Indische Bank. Kemudian, atas bantuan Raja Willem I, maka didirikanlah De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi milik pemerintah Hindia Belanda pada 9 Desember 1826. Beberapa saham milik De Javasche Bank adalah Pemerintah Hindia Belanda, Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) dan beberapa pejabat pemerintah termasuk Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies. Setelah De Javasche Bank didirikan, Mr. C. De Hann dinyatakan sebagai Presiden De Javasche Bank dengan J.C. Smulders sebagai sekretarisnya. De Javasche Bank seara resmi beroperasi setelah mengalami berbagai macam struktur organisasinya adalah pada tanggal 20 April 1830.
Pada tahun 1922, De Javasche Bank telah mengalami berbagai perkembangan, baik dari segi usaha maupun jaringan kantornya serta hukumnya juga mengalami perubahan. Pada oktroi ke-8, secara garis besar fungsi dan tugas De Javasche Bank berdasarkan Bankwet 1922, antara lain:
a. Mengeluarkan uang kertas.
b. Memperdagangkan logam mulia dan alat-alat pembayaran luar negeri.
c. Memberikan kredit kepada perusahaan dan perseorangan.
d.  Memberikan uang muka kepada perusahaan-perusahaan dengan jaminan surat-surat berharga atau barang dagangan.
e.  Bertindak sebagai kasir pemerintah dan memberikan uang muka jangka pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda sampai sejumlah 6 juta gulden tanpa bunga.
f.   Menyelenggarakan kliring antarbank.
Dalam periode ini, De Javasche Bank telah berkembang pesat. Selain kantor pusatnya di Batavia, De Javasche Bank telah memiliki 16 kantor cabang, yaitu Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado. Serta terdapat beberapa kantor lainnya diluar negeri seperti Amsterdam, Belanda, dan New York, Amerika Serikat.
Yayasan Pusat Bank Indonesia diberi wewenang oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan sabagai bank umum yang memberi  kredit, mengeluarkan obligasi, menerima simpanan giro, deposito, dan tabungan, serta memberikan informasi dan penerangan dalam bidang ekonomi. Hal itu dilakukan karena dirasa tidak mungkin mendirikan bank negara dengan waktu yang singkat. Barulah tanggal 17 Agustus 1946, berdiri bank sirkulasi pertama milik Pemerintah Indonesia yaitu Bank Negara Indonesia (sekarang BNI 46) sesuai dengan Perpu No. 2 Tahun 1946.
Pasca berakhirnya Perang Dunia Ke-II, terjadi perbaikan pasca perang di segala bidang termasuk dalam bidang ekonomi. Di Indonesia, De Javasche Bank kembali menjadi bank sirkulasi dan menata kembali perbankan yang ada di Indonesia. Namun yang menjadi titik beda, pemerintahan di Indonesia saat itu terbelah menjadi dua yaitu wilayah pemerintahan Republik Indonesia dan wilayah pemerintahan yang dikuasai NICA. Hal ini disebabkan kembalinya Belanda ke Indonesia pasca kemenangan sekutu atas Jepang. Hal tersebut juga berdampak dalam bidang perekonomian, di wilayah Pemerintahan Republik Indonesia terdapat bank sentral yang bernama Bank Negara Indonesia (BNI) dan di Pemerintahan NICA, bank sentral dipegang oleh De Javasche Bank.
Selama periode 1945-1949 De Javasche Bank terus membuka cabang-cabang kantornya di beberapa kota di Indonesia. De Javasche Bank terus bertahan meskipun pada periode tersebut, terjadi peperangan sengit antara pro-republik Indonesia dengan pasukan NICA. Barulah pasca KMB terdapat suatu peraturan yang mengukuhkan DJB sebagai bank sirkulasi/bank sentral di wilayah Republik Indonesia Serikat. Sementara BNI yang sebelumnya adalah bank sentral milik pemerintah RI ditugaskan sebagai bank pembangunan.
De Java Bank merupakan bank sentral yang bersifat partikelir dan berada di bawah kekuasaan modal asing. memang sangat aneh bank ini terletak di Indonesia namun kekuasaan dipegang oleh orang asing. Dari situlah pemerintah Indonesia merasa risau dan berupaya untuk menjadikan bank ini menjadi milik bangsa Indonesia secara murni tanpa campur tangan orang asing, dengan melakukan nasionalisasi De Javache Bank. Tujuan nasionalisasi ini bertujuaan untuk memulihkan perekonomian bangsa Indonesai pasca gangguan dari Benda, selain itu Pemerintah juga menganggap Belanda menyalahi aturan sehingga Indonesia harus mengambil ketegasan.
Alasan dilakukan Nasionalisasi De Javache Bank, antara lain :
1. Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka harus memiliki Bank sentral yang bersifat nasional dan murni kepemilikan Bangsa Indonesia.
2. Untuk menjamin kepentingan Umum.
3. Karena De Javasche Bank masih bersifat partikeler atau milik asing bukan nasioanal.
4. Untuk mengakhiri kedudukan De Javasche Bank yang masih ada campur tangannya dengan Belanda.
Desakan nasionalisasi De Javasche Bank sebenarnya sudah diamini oleh Pemerintah Indonesia sejak Indonesia berdiri. Namun, pelaksanaan konkritnya baru  terasa pasca KMB atau tepatnya pada tahun 1951. Menteri Keuangan saat itu, Jusuf Wibisono mengumumkan dalam suatu wawancara pers niatan pemerintah untuk menasionalisasi De Javasche Bank dalam waktu singkat. Dan berlanjut menyampaikannya kepada parlemen pada tanggal 28 Mei 1951. Parlemen menyetujui gagasan Menkeu saat itu, lalu pemerintah membentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank yang terdiri dari pejabat Kemenkeu, antara lain Soetikno Slamet (Ketua Panitia), Moh. Soediono, Soemitro Djojohadikusumo dan lain-lain.
Dalam proses nasionalisasi De Javasche Bank, berdasarkan tafsiran atas Pasal 19 Persetujuan Ekonomi-Keuangan KMB, tidak perlu lagi dengan persetujuan pihak Belanda. Sikap pemerintah mengenai nasionalisasi DJB ini hanya berarti pelaksanaa saja dari pernyataan di KMB.  Panitia nasionalisasi oleh pemerintah diberi wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan persiapan dan mengadakan berbagai negoisasi nasionalisasi DJB atas nama Pemerintah RI. Selain itu, panitia ini juga berhak memberikan usulan kepada pemerintah mengenai tata cara nasionalisasi serta mengajukan usulan RUU Nasionalisasi. Pada 15 Desember 1951, pemerintah mengumumkan nasionalisasi De Javasche Bank lewat UU. Nomor 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. Telah disahkannya undang-undang mengenai nasionalisai DJB menandakan telah resminya DJB sebagai bank milik pemerintah, bukan lagi kepemilikan swasta. Untuk sementara aturan operasional DJB masih didasarkan pada De Javasche Bankwet 1922.
Langkah berikut dari pemerintah adalah merancang undang-undang baru tentang bank sentral. Rencana undang-undang Pokok Bank Indonesia kemudian disampaikan Pemerintah kepada parlemen pada bulan September 1952. Pada tanggal 10 April 1953, Parlemen telah selesai membicarakannya dan memberikan  persetujuan atas RUU tersebut setelah mengadakan beberapa perubahan yang penting di dalamnya. Pada tanggal 19 Mei 1953, RUU tersebut telah disahkan oleh Presiden Soekarno dan diumumkan pada 2 Juni 1953. Dan pada akhirnya, UU No. 11 Tahun 1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia dinyatakan berlaku pada 1 Juli 1953, dan setiap 1 Juli diperingati sebagai hari lahirnya Bank Indonesia.
Dengan lahirnya Bank Indonesia, ditandakan sebagai simbol kedaulatan Indonesia di bidang ekonomi dan moneter. Setelah hampir 8 tahun Indonesia merdeka, pada akhirnya Indonesia mempunyai bank sentralnya sendiri. Sebuah harapan dan tantangan baru yang harus dihadapi Indonesia demi stabilnya perekonomian bangsa dengan Bank Indonesia sebagai ujung tombaknya.


4) Pembentukan Biro Perancang Negara
Pemerintah Letjen Soeharto (Orde Baru) yang dijalankan sejak terbentuknya Kabinet Ampera mempunyai tugas menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai prasyarat pelaksanaan pembangunan nasional. Tugas Kabinet Ampera disebut Dwidarma Kabinet Ampera. Program kerjanya disebut Caturkarya yang isinya adalah mencukupi kebutuhan sandang dan pangan; melaksanakan pemilihan umum(pemilu); melaksanakan politik luar negeri bebas aktif; dan melanjtkan perjuangan antiimperialisme dan kolonialisme.
Jenderal Soeharto melanjutkan pembangunan yang telah dilakukan Kabinet Ampera dengan membentuk cabinet pembangunan pada tanggal 6 juni 1968. Tugas pokok Kabinet Pembangunan disebut Pancakrida. Dalam upaya melaksanakan pembangunan dibidang ekonomi, pemerintah Jenderal Soeharto yang dikenal juga sebagai pemerintahan Orde Baru melaksanakannya melalui Repelita (rencana pembangunan lima tahun).
Repelita dilaksanakan mulai tanggal 1 April 1969. Pembangunan ekonomi pada masa orde baru diarahkan pada sector pertanian. Hal itu dikerenakan kurang lebih 55% dari produksi nasional berasal dari sector pertanian dan juga 75% pendudukan Indonesia memperoleh penghidupan dari sector pertanian. Bidang sasaran pembangunan dalam Repelita, antara lain bidang pangan, sandang, perbaikan prasarana, rumah rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Jangka waktu pembangunan orde baru dapat dibedakan atas dua macam, yaitu program pembangunan jangka pendek dan program pembangunan jangka panjang. Program pembangunan jangka pendek sering disebut pelita (pembangunan lima tahun), adapun program pembangunan jangka panjang terdiri atas pembangunan jangka pendek yang saling berkesinabungan. Masa pembangunan jangka oanjang direncanakan selama 25 tahun. Modernitas memerlukan sarana, salah satunya dengan pengadaan sarana fisik. Pembangunan yang dilaksanakan di realisasikan dalam system pembangunan nasional yang dilaksanakan dengan bentuk Pembangunan Lima Tahun (PELITA).

     1) Pelita I
 Pada 1 April 1969 dimulailah pelaksanaa pelita 1 yaitu pada periode 1969-1974. Pada pelita 1 ini, orde baru menyelesaikan fase stabilitas dan rehabilitasi sehingga dapat menciptakan keadaan yang stabil. Selama beberapa tahun, sebelum orde baru keadaan ekonomi mengalami kemerosotan. Pada 1955-1960 laju inflasi rata-rata 25% per tahun, dalam periode 1960-1965 harga-harga meningkat dengan laju rata-rata 226% per tahun, dan pada 1966 laju inflasi mencapai puncaknya, yaitu 650% setahun. Kemerosotan ekonomi tersebut terjadi di segala bidang akibat kepentingan ekonomi dikorbankan demi kepentingan politik.
Pada masa orde baru, kemerosotan ekonomi dapat dikendalikan. Pada 1976, laju inflasi dapat ditekan menjadi 120%, atau seperlima dari tahun sebelumnya. Pada 1968, inflasi dapat ditekan lagi menjadi 85%. Berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai, kemudian dimulailah pelaksanaan pelita 1 pada tahun 1969. Adapun titik berat pelita 1 adalah pada sector pertanian dan industry yang mendukung sector pertanian.
 Adapun sasaran pelita 1, yaitu meningkatkan pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelaksanaan pelita 1 termasuk
pembiayaannya selalu disetujui DPR dengan membuat undang-undang sesuai ketentuan UUD 1945.

     2) Pelita II
Pelita 1 berakhir pada 31 Maret 1974, yang telah meletakan dasar-dasar yang kuat bagi pelaksanaan pelita I. MPR hasil pemilu 1971 secara aklamasi memilih dan mengangkat kembali jendral soeharto sebagai presiden RI. Selain itu, MPR hasil pemilu 1971 berhasil pula menyusun GBHN melalui Tap MPR RI No IV/MPRS/1973. Di dalam GBHN 1973 terdapat rumusan pelita II, yaitu :
a)      Tersedianya bahan pangan dan sandang yang cukup dan terjangkau oleh daya beli masyarakat;
 b)      Tersedianya bahan-bahan bangunan perumahan terutama bagi kepentingan masyarakat;
c)      Perbaikan dan peningkatan prasarana;
d)     Peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata;
e)      Memperluas kesempatan kerja.
Untuk melaksanakan pelita II, presiden soeharto kemudian membentuk cabinet pembangunan II. Program kerja cabinet pembangunan II, disebut Sapta Krida Kabinet Pembangunan II, yang meliputi:
a)      Meningkatkan stabilitas politik;
b)      Meningkatkan stabilitas keamanan;
c)      Melanjutkan pelita 1 dan melaksanakan pelita II;
d)     Meningkatkan kesejahteraan rakyat;
e)      Melaksanakan pemilihan umum.

     3) Pelita III
Pada 31 Maret 1979, Pelita III mulai dilaksanakan. Titik berat pembangunan pada pelita III adalah pembangunan sector pertanian menuju swasembada pangan yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Sasaran pokok pelita III diarahkan pada trilogy pembangunan dan delapan jalur pemerataan.
a) Trilogi pembangunan mencakup:
1)      Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terwujudnya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia;
2)      Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3)      Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
b)  Delapan jalur pemerataan mencakup:
1)      Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, dan perumahan;
2)      Bagi rakyat banyak;
3)      Pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan;
4)      Pemerataan pembagian pendapatan;
5)      Pemerataan memperoleh kesempatan kerja;
6)      Pemerataan mempreoleh kesempatan berusaha;
7)      Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khusunya bagi generasi muda dan kaum wanita;
8)      Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Indonesia;
9)      Pemerataan memperoleh keadilan.
Terpilih menjadi presiden RI untuk kedua kalinya MPR hasil pemilu membentuk kabinet pembangunan III. Kabinet ini dilantik secara resmi pada 31 Maret 1978.
     Program kerja kabinet pembangunan III, disebut Sapta Krida Pembangunan III, yang meliputi:
1.      Menciptakan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dnegan memeratakan hasil pembangunan;
2.      Melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3.      Memelihara stabilitas keamanan yang mantap;
4.      Menciptakan aparatur Negara yang bersih dan berwibawa;
5.      Membina persatuan dan kesatuan bangsa yang kukuh dan dilandasi oleh penghayatan dan pengamalan pancasila;
6.      Melaksanakan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia;
7.      Mengembangkan politik luar negri yang bebas aktif untuk diabdikan kepada kepentingan nasional.

     4) Pelita IV         
Pelita III berakhir pada 31 Maret 1989 yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pelita IV yang dimulai 1 april 1989. Untuk ketiga kalinya jenderal soeharto terpilih dan diangkat kembali oleh MPR hasil pemilu. Untuk melaksanakan pelita IV, presiden seharto membentuk cabinet pembangunan IV. Titik berat pelita IV adalah pembangunan sector pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju swasembada pangan dan meningkatkan industry yang dapat menghasilkan mesin-mesin sendiri, baik untuk mesin-mesin industry ringan maupun industry berat.         
Sasaran pokok pelita IV yaitu sebagai berikut:
 a)      Bidang politik, yaitu berusaha memasyarakatkan P4 (Pedoman,Penghayatan,dan Pengamalan Pancasila).
 b)      Bidang pendidikan, menekankan pada pemerataan kesempatan belajar dan meningkatkan mutu pendidikan.
c)      Bidang keluarga berencana (KB), menekankan pada pengendalian laju pertumbuhan penduduk yang dapat menimbulkan masalah nasional.

    5) Pelita V         
Pelita IV berakhir pada 31 Maret 1994 yang dilanjutkan oleh pelaksanaan pelita V yang dimulai 1 April 1994. Pelita V ini merupakan pelita terakhir dari keseluruhan program pembangunan jangka panjang pertama (PPJP 1). Pelita V merupakan masa tinggal landas untuk memasuki program pembangunan jangka panjang kedua (PPJP II), yang akan dimulai pada pelita VI pada april 1999.
Titik berat pelita V adalah meningkatkan sector pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan prduksi hasil pertanian laiinya serta sector industri, khususnya industry yang menghasilkan barang untuk ekspor, industry yang banyak tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertaian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri menuju terwujudnya struktur ekonomi yang seimbang antara industry dengan pertanian, baik dari segi nilai tambah maupun dari segi penyeraan tenaga kerja.

   6)      Pelita VI         
Pelita V berakhir pada 31 Maret 1999yang dilanjutkan oleh pelaksanaan pelita VI yang dimulai pada 1 April 1999. Pada akhir pelita V diharapkan akan mampu menciptakan landasan yang kukuh untuk mengawali pelaksanaan pelita VI dan memasuki proses tinggal landas menuju pelaksanaan program pembangunan jangka panjang kedua (PPJP II) . Titik berat pelita VI diarahkan pada pembangunan sector-sektor ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.         
 Sasaran pembangunan industry dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun VI sebagai bagian dari sasaran bidang ekonomi sesuai amanat GBHN 1993 adalah tertata dan mantapnya industry nasional yang mengarah pada penguatan, pendalaman, peningkatan, perluasan, dan penyebaran industry ke seluruh wilayah Indonesia, dan makin kukuhnya struktur industry dengan peningkatan keterkaitan antara industry hulu, industry antara, dan industry hilir serta antara industry besar, industry menengah, industry kecil, dan industry rakyat. Serta keterkaitan antara sector industry dengan sector ekonomi lainnya. Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia kea rah yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit diatasi pada akhir tahun 1997.
Namun, pelaksanaan PPJP II tidak berjalan lancar akibat krisis ekonomi dan moneter melanda Indonesia. Inflasi yang tinggi akibat krisis ekonomi menyebabkan terjadinya gejolak social yang mengarah pada pertentangan terhadap pemerintah orde baru.


5) Sistem Ekonomi Ali-Baba
Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus 1954 - Agustus 1955), menteri prekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi baru yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Artinya, bentuk kerjasama ekonomiantara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba. Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem Ali Baba digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.
Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.

Tujuan Dan Hambatan
Tujuan dari program ini adalah:
i.Untuk memajukan pengusaha pribumi.Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
ii.Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
iii.Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.

Sistem ekonomi ini kemudian didukung dengan :
·         Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha  swasta nasional .
·         Pemerintah memberikan perlindungan agar pengusaha nasional mampu bersaing dengan
pengusaha asing.

     Sistem ekonomi ini lebih menekankan pada kebijakan indonesianisasi yang mendorog tumbuh berkembangnya pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi. Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
Memasuki zaman pemerintahan Demokrasi Terpimpin, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah. Namun, kondisi kehidupan rakyat tetap menderita. Kondisi buruk ini diperparah dengan tidak berjalannya distribusi bahan makanan dari pusat produksi kedaerah konsumsi akibat pemberontakan di berbagai daerah.  Sementara itu, jumlah uang yang beredar semakin banyak karena pemerintah terus mencetak uang tanpa kendali. Uang tersebut digunakan uang mebiayai proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New Emerging forces (Ganefo) dan Conference of the New Emerging Forces (Conefo). Akibatnya, Inflasi semakin tinggi dan mencapai hingga 300%. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan dengan pemotongan nilai mata uang. Misalnya, uang Rp.500,00 dihargai Rp.50,00 dan uang Rp.1000,00 dihargai Rp.100,00. Tindakan pemerintah tersebut ternyata tidak menambah perbaikan kehidupan ekonomi rakyat.
Sistem Ali-Baba pada awalnya bertujuan untuk memberikan peluang kepada para pengusaha agar bisa memajukan perekonomian indonesia waktu itu dengan cara pemberian dana segar pada pengusaha tersebut. sistem ini mengalami kegagalan karena: Kredit yang digunakan ternyata tidak digunakan secara benar oleh para pengusaha pribumi (indonesia) dalam rangka mencari keuntungan tetapi malah dipindahkan kepada pengusaha tionghoa secara sepihak. Kredit yang diberikan pada awalnya dimaksudkan untujk mendorong kegiatan produksi tapi malah diselewengkan untuk kegiatan konsumsi.
     Kegagalan pengusaha pribumi dalam memanfaatkan kredit secara maksimal sehingga kurang berdampak positif terhadap perekonomian indonesia waktu itu.
Alasan kegagalan Kabinet Ali
o   Jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNI-AD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD.
o   Persaingan ideologi juga tampak dalam tubuh konstituante.Pada saat itu negara dalam keadaan kacau disebabkan oleh pergolakan di daerah.
o   Persaingan antara kelompok agama dan nasionalis yang berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan keadaan politik nasional tidak stabil.Hal tersebut sangat mengganggu jalannya pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
o   Ingin menyatukan pengusaha pribumi & tionghoa,tapi gagal karena pengusaha pribumi lebih konsumftif dibandingkan dengan pengusaha tionghoa yang menghasilkan.Menjadi ladang korupsi dan kolusi.
o   Orang-orang pribumi yang terlatih dan berpengalaman terlalu sedikit.
o   Kaum pribumi tidak memiliki modal kuat dan nyaris tidak mungkin untuk bersaing.


6) Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.

RPLT mengalami kegagalan disebabkan oleh Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot. Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi. Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.

No comments:

Post a Comment